Selasa, 21 Juni 2011

[BUKAN] Perjalanan Biasa



“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Al Israa’, 17 : 1)

Momen peringatan hari-hari besar Islam seringkali diperingati, namun terkadang karena kurang pada tempatnya dalam menempatkan posisi akal untuk memahami hal yang bersifat ghaib, maka seringkali kita akhirnya tidak bisa memetik hikmahnya. Padahal, masalah keimanan itu selalu berkaitan dengan hal yang ghaib. Allah SWT berfirman: “Alladziina yu’minuuna bil ghaib” (Al Baqarah, 2 : 3)

Dinamakan sesuatu itu ghaib manakala tidak bisa direkam oleh indra kita, yang karenanya tidak bisa diolah oleh akal. Sebab fungsi akal adalah mengolah data-data yang sempat direkam oleh indra kita. Sesuatu yang tidak bisa dilihat, didengar dan tidak bisa dirasa, tentu tidak akan bisa dimengerti oleh akal.

Maka dari itu, peristiwa Isra Mi’raj ini termasuk dalam perkara yang ghaib yang harus diterima oleh keimanan terlebih dahulu sebelum akal. Ketika peristiwa Isra Mi’raj terjadi, maka pada saat itu sempat menghebohkan, bahkan sempat pula melahirkan tuduhan orang-orang musyrikin yang semakin gencar yang menuduh Nabi Muhammad Saw itu adalah orang gila.

Hal ini juga sempat mempengaruhi orang-orang Islam pada saat itu. Ketika berita ini sampai kepada Abu Bakar Ash Shidiq Ra dan ummat meminta bagaimana pandangan Beliau, maka hanya satu pertanyaan yang Beliau ajukan kepada para sahabat, “dari mana kalian mendengar terjadinya peristiwa ini ? Kata para sahabat, kami mendengar dari Rasulullah Saw. Lalu Abu Bakar Ra mengatakan, kalau dalam hal ini yang mengatakan Rasulullah Saw, maka kalian tinggal meyakininya saja.

Kendati sudah jelas masalah Isra Mi’raj ini berkaitan dengan masalah keimanan, namun kita tetap masih saja bisa menyaksikan tidak sedikit di antara saudara-saudara kita yang tertarik untuk tetap mempersoalkan peristiwa Isra Mi’raj ini dengan pendekatan akal. Sebenarnya tidaklah salah sepenuhnya, tetapi karena kurang tepatnya kita dalam menempatkan posisi akal. Maka seringkali diskusi-diskusi atau seminar-seminar yang diselenggarakan ini tidak mencapai yang diharapkan.

Sebagai contoh, masih sering dipersoalkan oleh sebagian orang, apakah peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah Saw itu hanya sekadar ruh Beliau, ataukah ruh sekaligus jasadnya ? Kalau dikatakan kepada mereka bahwa peristiwa ini hanya ruh Nabi Muhammad Saw, maka biasanya mereka akan mengatakan di mana letak kebesaran peristiwa itu karena terkesan hampir tidak jauh berbeda dengan mimpi. Tapi kalau dikatakan kepada mereka, bahwa peristiwa itu terjadi bukan hanya ruh Nabi Muhammad Saw saja, tapi ruh sekaligus dengan jasadnya, maka mereka akan mengatakan, bagaimana hal itu bisa terjadi ?

Pertanyaan ini terjadi semata-mata karena merupakan pendekatan akal belaka yang diutamakan. Menurut mereka, bagaimana mungkin Nabi Muhammad Saw itu bisa pergi-pulang Isra dari Masjidil Haram (Mekah) ke Masjidil Aqsha (Yerusalem) yang kemudian mi’raj melewati sekian lapis langit untuk sampai ke Sidratul Muntaha hanya ditempuh dalam waktu satu malam ?  Padahal menurut  penelitian, bila saja manusia keluar dari perut bumi ini tidak mungkin bisa hidup jika tidak dibekali oksigen. Sementara tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw itu dalam Isra Mi’raj-nya dibekali tabung yang berisi oksigen.

Kalau kemudian dikatakan kepada mereka bahwa hendaknya ini tidak diukur dengan kemampuan manusia bernama Muhammad, tetapi hendaknya diukur dengan pendampingnya adalah Malaikat Jibril yang notabene malaikat yang diciptakan dari cahaya, maka mereka masih akan berdalih lagi dengan mengatakan, kecepatan cahaya saat ini sudah bisa diukur oleh manusia. Hal ini pun menurut mereka tidak mungkin karena perjalanan sejauh itu hanya ditempuh dalam satu malam. Maka tambah hangatlah diskusi mereka. Inilah merupakan penyakit kronis dari sebagian kehidupan masyarakat kita manakala ada suatu perintah dan larangan dari Allah SWT yang sudah jelas perintah dan larangan-Nya, mereka tidaklah segera melaksanakan perintah dan meninggalkan larangannya, malah disibukkan hanya mendiskusikannya.  

Sementara pendapat sebagian besar ulama menyatakan, bahwa peristiwa ini terjadi sekaligus ruh dan jasad Nabi Muhammad Saw. Alasan yang mendasarinya karena memang sangat jelas ayatnya menyatakan, Subhaanalladzii asraa bi ‘abdihii. Pengertian Abdun pada ayat ini adalah hamba. Adapun yang dinamakan seorang hamba Allah berarti termasuk ruh dan jasadnya. Demikian pula, diri kita ini termasuk hamba Allah yang tentunya termasuk juga di dalamnya ruh dan jasad kita. Andaikata yang di-Isra Mi’raj-kan itu hanya ruh Nabi Muhammad Saw saja, maka ayatnya akan berbunyi, subhanaalladzii asraa bi ruuhi ‘abdihii, Mahasuci Allah yang telah meng-Isra-kan ruh hambanya yang berarti tidak dengan jasadnya.

Dan, seandainya memang yang di-Isra Mi’raj-kan oleh Allah itu hanya sekadar ruh Nabi Muhammad Saw saja, maka tidak akan terasa pernyataan Allah SWT dalam lanjutan ayat-Nya yang menyatakan, “li nuriyahuu min aayaatinaa” (Untuk Kami tunjukkan kepada manusia tanda-tanda kekuasaan Kami).

Kini, yang terpenting bagi kita, adakah yang bisa kita petik hikmahnya di balik peristiwa Isra Mi’raj ini ? Sebenarnya ada sesuatu yang bisa kita petik hikmahnya dari peristiwa ini. Bagi kita sebagai seorang mu’min adalah, kita yakin bahwa segala sesuatu yang mustahil menurut akal kita, itu tidak mustahil menurut Allah Yang Mahakuasa. Hikmahnya bagi kita adalah, rasa optimis mesti selalu ada pada diri kita. Sehingga kalau kita dihadapkan pada suatu masalah yang sudah buntu atau tidak mungkin menurut akal kita, tetap saja kita “tidak akan” pesimis, “tidak akan” sampai putus asa.

Allah SWT telah mengingatkan kita melalui firman-Nya: “Jangan sekali-kali kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir” (QS. Yusuf, 12:87). Dalam ayat ini rasa putus asa itu identik dengan kekafiran. Sebab orang yang putus asa itu berarti dia sudah tidak beriman atau tidak meyakini lagi bahwa Allah Yang Mahakuasa dapat mengubah segala sesuatunya. Padahal, tidak ada yang mustahil jika Allah SWT menghendakinya. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanya berkata kepadanya “kun”(jadilah) maka jadilah ia”(QS. Yaasiin, 36:82).

Paling tidak, ada ”tiga” hal yang bisa kita petik hikmahnya dari peristiwa ini. Hikmah pertama adalah masalah keimanan, yakni menambah keyakinan kita kepada Allah SWT bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Hikmah kedua, kita mesti memahami “hasil” yang dibawa dari perjalanan peristiwa ini adalah diperintahkannya kita menegakkan shalat fardlu lima waktu. Manakala Allah memerintahkan ibadah lain selain shalat, maka Allah cukup berfirman kepada Rasulullah Saw baik itu langsung wahyu atau pun melalui perantara Malaikat Jibril. Tapi, ketika Allah SWT akan memerintahkan shalat, Rasululah Saw terlebih dahulu harus di-mi’raj-kan untuk langsung bertemu dengan-Nya dan menerima perintah-Nya. Ini bermakna betapa pentingnya perintah shalat lima waktu bagi kehidupan kita.

Maka Rasulullah Saw dalam sebuah haditsnya pernah menyatakan, shalat itu adalah mi’rajnya orang-orang mu’min. Artinya shalat yang kemudian diperintahkan oleh Allah SWT kepada kita ummat Islam melalui Rasulullah SAW dengan peristiwa Isra Mi’raj itu dijadikan sarana untuk kita bisa mi’raj sehari lima kali untuk menghadap Allah SWT. 

Adapun hikmah ketiga, adalah hendaknya kita semua mesti mau memperbaiki diri dan berkaca kepada setiap musibah dan bencana yang sering terjadi. Bukan hanya bencana alam saja yang bisa kita resapi dan kita maknai, melainkan bencana moral yang telah banyak melenceng baik dari tata kehidupan para pejabat eksekutif, yudikatif maupun legislatif hingga masyarakat biasa telah banyak terefleksi dan sungguh telah jauh berpijak dari rel-rel kehidupan yang baik dan hakiki sesuai syariat Islam. 

Semoga ketiga hikmah di atas menjadi pijakan kita untuk melangkah ke depan yang penuh makna dalam menjalani sisa-sisa hidup kita yang semakin hari tanpa disadari jatah usia kita semakin berkurang.

Wallahu a’lam bish-shawab.
Redaktur:


STMIK AMIKOM

Baca selengkapnya » 0 komentar

Rabu, 15 Juni 2011

[BUKAN] Adzab, Tapi Rahmat

Peristiwa Tsunami, gempa, banjir dan bencana alam lainnya Demi Allah bukanlah Azab, tetapi Rahmat dan Kasih sayang Allah swt atas Ummat Muhammad saw, mengapa?
Berapa ratus ribu Jiwa pendosa bertebaran dimuka bumi dengan lidah penuh dosa, telinga penuh dosa, pandangan penuh dosa, perbuatan penuh dosa dan hati yg membusuk dg dosa, dan setiap dosa membutuhkan Istighfar dan taubat,
Maka Genggaman Takdir seakan muncul dari dasar laut atau dari atas langit merenggut ratusan hingga ribuan tubuh penuh dosa, melemparkan tubuh mereka menjadi bangkai busuk, dan lalu tergenggamlah ruh ruh mereka dalam kelompok Syuhada yg terang benderang dengan Keridhoan Nya, dan Berbahagialah mereka dengan Nasib 1000X mujur. Demi Allah bila mereka dihidupkan kembali dan disuruh memilih antara kembali kepada keluarganya dengan kekayaan di dunia, atau meninggalkan keluarga mereka menuju Kelompok Syuhada, maka Demi Allah mereka tak ada satupun yg memilih kembali ke muka Bumi.
Dalam Shahih Muslim, hadits no : 1914 dan 1915 dan beberapa hadits lainnya, menjelaskan dengan gamblang bahwa orang yang mati tenggelam (dari Ummat Muhammad saw) adalah syuhada. Dan pada kitab Jawahirul Bukhari di jelaskan bahwa semua orang yg ditimpa bencana Alam wafat sebagai syuhada.
Namun Jenazah mereka tetap dimandikan (bila memungkinkan), lalu dishalatkan lalu dikuburkan, karena mereka dikategorikan bersama syuhada namun bukan dalam perang fii sabilillah. orang yg wafat dalam peperangan fii sabilillah maka mereka tak perlu dimandikan dan tak pula perlu dikafani, karena telah disucikan sesuci2nya oleh Allah swt.
Dan untuk mereka yg masih hidup, lalu kehilangan harta, kehilangan keluarga, kehilangan nafkah dlsb, ah..ah..ah..betapa Luhurnya Balasan Allah swt kelak, karena lebih dari 12 hadist shahih didalam HR Muslim (hadist no. 2572 dan lainnya) dan masih puluhan hadits lagi terpencar di Shahih Bukhari, Nasa’I dan Ibn Majah dan lainnya, bahwa setiap kesedihan merupakan penghapusan dosa, setiap musibah adalah pengangkatan derajat dan penghapusan dosa, bahkan Rasul saw menjelaskan dalam riwayat Aisyah Ummul mukminin ra : ‘setiap duri kecil yg tanpa disengaja menusuk tubuh pun merupakan penghapusan dosa dan pengangkatan derajat (HR Muslim)
‘Musibah’ dikenal juga sebagai gunung gunung pahala, tanpa perlu beramal.
Dan Rasul saw pernah ditanya : ‘siapakah orang orang yg paling kaya raya dan senang di hari kiamat wahai Rasulullah??, Rasul saw menjawab : ‘Orang yg paling banyak ditimpa musibah dimuka bumi, mereka kelak dipanggil oleh Allah dalam kelompok mulia, lalu Allah swt berkata : “Wahai hamba hamba Ku, telah kusempitkan rizki kalian dimuka Bumi, kusulitkan kehidupan kalian sehingga kalian menderita dan mengemis pada orang orang kaya, maka kini kalian kumuliakan semulia mulianya, dan saat ini orang orang kaya akan menderita dan mengemis pada kalian?!?. Maka saat itu ketika seluruh manusia melihat betapa agung nya derajat orang yg ditimpa musibah, maka mereka berharap alangkah indahnya bila seluruh hidup mereka adalah musibah dan tak merasakan nikmat sebutirpun..”.
Namun Rasul saw menengahi hal ini, ketika seorang sahabat sakit keras dan Rasul saw menjenguknya, dan bertanya sebab penyakitnya, maka sahabat yg sudah bagaikan daun kering dari parahnya penyakit yg menimpanya itu menjawab : ‘aku berdoa kepada Allah agar menumpahkan penyakit kepadaku di Bumi, agar aku tak merasakan siksa di akhirat kelak, maka datanglah penyakit ini’. Maka Rasul saw Menjawab dengan serta merta : ‘Tidak..!, engkau tak akan mampu menanggungnya, jangan berdoa seperti itu, berdoalah dg doa yg diajarkan Allah, Wahai Allah berilah kami dunia yg baik, dan akhirat yg baik pula, dan bebaskan kami dari neraka’ (Rabbana aatina fiddunya hasanah’ hingga akhir ayat).
Betapa Maha Indah Nya setiap Ketentuan Allah, dan Betapa Agung dan luhurnya derajat ummat Muhammad Saw.
Namun Bencana alam bagi mereka yg diluar islam, maka berupa azab dan peringatan.
Semua kejadian, siang dan malam, kehidupan dan kematian, musibah dan kenikmatan, merupakan seruan Allah swt kepada kita untuk mendekat pada Nya swt.
demikian gempa atau bencana alam lainnya, yg wafat dalam kejadian itu telah dijamin mati syahid oleh Rasul saw sebagaimana hadits beliau saw :
Syuhada adalah 5,
1. orang yg wafat terkena reruntuhan (gempa, tanah longsor dll),
2. orang yg wafat karena sakit di bagian perutnya (perut dalam hukum syariah adalah dibawah leher hingga kemaluan, dan mereka yg wafat saat hamil dijelaskan oleh Imam Nawawi termasuk dalam hadits ini),
3. orang yg terkena wabah Thaun (Thauun adalah wabah penyakit yg mematikan dan sudah tiada dimasa kini, masa lalu jika wabah ini masuk kesuatu wilayah maka ribuan yg mati, namun sebagian ulama mengelompokkan semua wabah yg menyebabkan kematian termasuk dalam hadits ini),
4. orang yg wafat tenggelam
5. orang yg wafat dalam peperangan di Jalan Allah. (shahih Bukhari).
Dalam riwayat shahih lainnya terdapat hadits menyebutkan termasuk yg mati terbakar.
Maka selama mereka itu muslim dan bukan bunuh diri dan tidak dalam keadaan mabuk/maksiat, maka Insya Allah mereka dalam kelompok para syuhada dihari kiamat.


Dan orang yg terkena bencana maka itu menjadi penghapus dosa baginya demikian dijelaskan pada shahih Bukhari bahwa Rasul saw menjelaskan semua musibah pada muslim adalah penghapusan dosa.

Bagi yg tak terkena musibah, maka hal itu peringatan dari Allah swt.
Kita berdoa bersama agar Allah swt menenangkan pulau jawa dan wilayah Indonesia lainnya dari musibah, Amiin
Allahu a’lam
Oleh : Habib Munzir Al Musawa

Sumber : http://nabawi.net/?p=125 (diakses 15 Mei 15.25)
Baca selengkapnya » 1 komentar

Rabu, 08 Juni 2011

[BUKAN] Mencegah Laknat

MENSYUKURI NIKMAT; Pencegah Laknat

اَلسَّلاَمُ عَلَيـْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبـَرَكَاتـُهُ

الحمد لله الذي أنعمنا بكتاب يقودنا إلى رحمة منه ورضوان. وأمرنا بتعظيمه والإهداء به لنكون أهلا للجنان. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لاشريك له. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى أله وأصحابه المستكملين للإيمان. (أمابعد) فياأيهاالحاضرون. اتقوا الله واعلموا أن الله تعالى قد قال في كتابه الكريم. أعوذ بالله من الشيطان الرجيم بسم الله الرحمن الرحيم. لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كــفرتم إن عذابي لشديد.

Jama’ah Jum’ah Yang Dimuliakan Allah
Melalui khutbah ini kami ingin berwasiat kepada kaum muslimin, khususnya kepada pribadi saya sendiri untuk selalu menundukan kepala dengan disertai ketaqwaan kepada Allah SWT. Dan marilah kita senantiasa selalu mengingat dan mensyukuri atas nikmat yang telah diberikan kepada kita semua, baik berupa nikmat jasmani maupun nikmat rohani.

Jama’ah Jum’ah Yang Dimuliakan Allah
Akankah kita sadari selama ini, banyaknya manfaat yang kita rasakan dari anugerah Allah SWT, baik berupa pendengaran, akal, dan penglihatan dan apa yang telah dikaruniakan Allah berupa harta, kekayaan dan kemuliaan serta alam semesta ini.
Dengan demikian apakah kita sudah ber-syukur dan selalu mengingat atas nikmat semua itu. Mensyukuri dan mengingat atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. kepada kita semua harus kita lakukan setiap waktu dan setiap saat, tidak cukup hanya dengan ucapan Alhamdulillah. Akan tetapi, hal itu harus kita wujudkan dalam bentuk haliyah (tingkah laku) kita sehari-hari dengan selalu menjaga nikmat itu agar tetap kita gunakan demi kebaikan dan mendapatkan ridha dari Allah SWT.

Kaum Muslimin Rahimakumullah
Kalau kita renungkan lagi, betapa banyak nikmat yang selama ini kita rasakan, mulai dari nikmat kesehatan tubuh sehinga kita bisa me-lakukan aktifitas sehari-hari, kenikmatan harta benda sehinga kita bisa berumah tangga meme-nuhi kebutuhan hidup dalam berkeluarga, kenikmatan alam lingkungan yang selama ini kita rasakan dengan penuh ketenangan dan ketentraman.
Kalau kita mencoba menghitung atas nikmat Allah yang telah diberi-kan kepada kita semua, niscaya kita tidak dapat menentukan jumlahnya.
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat 18.

وإن تعدوا نعمة الله لاتحصوها إن الله لغفور رحيم.

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Kaum Muslimin Yang Dimuliakan Allah
Kalau seandainya kita sadar bahwa betapa banyak limpahan karunia Allah kepada kita semua. Niscaya kita tidak akan pernah mem-busungkan dada dan tidak akan mem-banggakan amal perbuatan kita, yang sebenar-nya tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan anugerah dan nikmat yang terdapat pada satu mata saja, yang sampai saat ini masih bisa melihat dan menyaksikan keindahan alam semesta ini. Rasullullah SAW. yang ibadahnya begitu tekun, jika melakukan sholat malam hari kaki beliau sampai bengkak dikarenakan lama-nya berdiri, tidak pernah membanggakan diri. Bahkan beliau pernah ditegur oleh para sahabatnya dan juga istri beliau sendiri, “Wahai Rasullullah. Mengapa engkau ibadah sampai seperti ini, bersusah payah tanpa lelah dan berhenti. Padahal Allah sudah mengampuni segala dosa dan kesalahanmu?”. Beliau men-jawab dengan singkat.

أفلا أكــون عبدا شكورا

“Apakah tidak boleh aku menjadi seorang hamba yang selalu bersyukur”.
Rasulullah yang sudah dijamin masuk surga dan tidak pernah melakukan kesalahan dan dosa, masih mau bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah. Oleh karena itu, suri tauladan Rasululah SAW. yang seperti itu marilah kita contoh dan mengejawantah-kannya dalam kehidupan kita sehari-hari, agar kita selalu mendapatkan tambahan rahmat dan dijauhkan dari musibah. Dalam al-Qur’an telah dijelaskan;

لئن شكرتم لأزيدنكم ولئـن كــفرتم إن عذابي لشديد

(إبراهيم 7)

Kalau kita selalu bersyukur atas nikmat Allah niscaya kita akan diberikan kenikmatan yang lebih banyak. Tetapi ingatlah kalau kita berpaling dan mengkufuri atas nikmat Allah. Sesungguhnya siksaan Allah amatlah pedih.

Dengan demikian mudah-mudahan kita semua dijadikan orang-orang yang selalu men-syukuri atas nikmat Allah dan diselamatkan dari siksaan yang amat pedih. Amin Ya Robbal ‘Alamin.

بارك الله لي ولكم في القران العظيم ونفعني وإياكم بـتلاوته إنه هو الذكـــر الحكيم.واستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.

sumber
Baca selengkapnya » 0 komentar

Rabu, 11 Mei 2011

[Bukan] Sembarang Doa


Mengangkat tangan dalam berdoa merupakan etika yang paling agung dan memiliki keutamaan mulia serta penyebab terkabulnya doa.

Dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu dari hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta-Nya) dikembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa”. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Doa 2/78 No.1488, Sunan At-Tirmidzi, bab Doa 13/68. Musnad Ahmad 5/438. Dishahihkan Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud].
Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa lafazh hayyun berasal dari lafazh haya’ yang bermakna malu. Allah memiliki sifat malu yang sesuai dengan keagungan dzat-Nya kita beriman tanpa menggambarkan sifat tersebut. Lafazh kariim yang berarti Maha Memberi tanpa diminta dan dihitung atau Maha Pemurah lagi Maha Memberi yang tidak pernah habis pemberian-Nya, Dia dzat yang Maha Pemurah secara mutlaq. Lafazh an yarudahuma shifron artinya kosong tanpa ada sesuatu. [Mur'atul Mafatih 7/363]
Dari Anas Radhiyalahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berdoa dengan mengangkat tangan kecuali dalam shalat Istisqa. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa' 2/12. Shahih Muslim, kitab Istisqa' 3/24].
Imam Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa hadits tersebut tidak menafikan berdoa dengan mengangkat tangan akan tetapi menafikan sifat dan cara tertentu dalam mengangkat tangan pada saat berdoa, artinya mengangkat tangan dalam doa istisqa’ memiliki cara tersendiri mungkin dengan cara mengangkat tangan tinggi-tinggi tidak seperti pada saat doa-doa yang lain yang hanya mengangkat kedua tangan sejajar dengan wajah saja.
Berdoa dengan mengangkat tangan hingga sejajar dengan kedua pundak tidaklah bertentangan dengan hadits di atas sebab beliau pernah berdoa mengangkat tangan hingga kelihatan putih ketiaknya, maka boleh mengangkat tangan dalam berdoa hingga kelihatan ketiaknya, akan tetapi di dalam shalat istisqa dianjurkan lebih dari itu atau mungkin pada shalat istisqa kedua telapak tangan diarahkan ke bumi dan dalam doa selainnya kedua telapak tangan diarahkan ke atas langit.
Imam Al-Mundziri mengatakan bahwa jika seandainya tidak mungkin menyatukan hadits-hadits diatas, maka pendapat yang menyatakan berdoa dengan mengangkat tangan lebih mendekati kebenaran sebab banyak sekali hadits-hadits yang menetapkan mengangkat tangan dalam berdoa, seperti yang telah disebut Imam Al-Mundziri dan Imam An-Nawawi dalam Syarah Muhadzdzab dan Imam Al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad. Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari ‘Amarah bin Ruwaibah bahwa dia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat tangan dalam berdoa, lalu mengingkarinya kemudian berkata : “Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih dari ini sambil mengisyaratkan jari telunjuknya. Imam At-Thabari meriwayatkan dari sebagian salaf bahwa disunnahkan berdoa dengan mengisyaratkan jari telunjuk. Akan tetapi hadits di atas terjadi pada saat khutbah Jum’at dan bukan berarti hadits tersebut menafikan hadits-hadits yang menganjurkan mengangkat tangan dalam berdoa. [Fathul Bari 11/146-147].
Akan tetapi dalam masalah ini terjadi kekeliruan, sebagian orang ada yang berlebihan dan tidak pernah sama sekali mau meninggalkan mengangkat tangan, dan sebagian yang lainnya tidak pernah sama sekali mengangkat tangan kecuali waktu-waktu khusus saja, serta sebagian yang lain di antara keduanya, artinya mengangkat tangan pada waktu berdoa yang memang dianjurkan dan tidak mengangkat tangan pada waktu berdoa yang tidak ada anjurannya. Imam Al-’Izz bin Abdussalam berkata bahwa tidak dianjurkan mengangkat tangan pada waktu membaca doa iftitah atau doa diantara dua sujud. Tidak ada satu haditspun yang shahih yang membenarkan pendapat tersebut.
Begitupula tidak disunahkan mengangkat tangan tatkala membaca doa tasyahud dan tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan kecuali waktu-waktu yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengangkat tangan. [Fatawa Al-Izz bin Abdussalam hal. 47].
Syaikh Bin Baz berkata bahwa dianjurkan berdoa mengangkat tangan karena demikian itu menjadi penyebab terkabulnya doa, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya Tuhan kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu kepada hamba-Nya yang mengankat kedua tangannya (meminta-Nya), Dia kembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa”. [Hadits Riwayat Abu Dawud].
Dan sanda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya Allah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti memerintahkan kepada para rasul”.
Allah berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah”. [Al-Baqarah : 172].
Dan firman Allah : “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [Al-Mukminuun : 51]
Kemudian beliau menyebutkan seseorang yang lusuh mengangkat kedua tangannya ke arah langit berdoa : ‘Ya Rabi, ya Rabbi tetapi makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram serta darah dagingnya tumbuh dari yang haram, bagaimana doanya bisa dikabulkan .?” [Shahih Muslim, kitab Zakat 3/85-86]
Tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa seperti berdoa pada waktu sehabis salam dari shalat, membaca doa di antara dua sujud dan membaca doa sebelum salam dari shalat serta pada waktu berdoa dalam khutbah Jum’at dan Idul fitri, tidak pernah ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan pada waktu waktu tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah panutan kita dalam segala hal, apa yang ditinggalkan dan apa yang dilaksanakan semuanya suatu yang terbaik buat umatnya, akan tetapi jika dalam khutbah Jum’at khatib membaca doa istisqa’, maka dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallah ‘alaihi wa sallam. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa', bab Jamaah Mengangkat Tangan Bersama Imam 2/21].
Dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa setelah shalat sunnah tetapi lebih baik jangan rutin melakukannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak rutin melakukan perbuatan tersebut dan seandainya demikian, maka pasti kita menemukan riwayat dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih para sahabat selalu menyampaikan segala tindakan dan ucapan beliau baik dalam keadaan mukim atau safar.
Adapun hadits yang berbunyi :
“Artinya : Shalat adalah ibadah yang membutuhkan khusyu’ dan berserah diri, maka angkatlah kedua tanganmu dan ucapkanlah : Ya Rabbi, ya Rabbi”. [Hadits Dhaif, Fatawa Muhimmmah hal. 47-49].
Dan tidak dianjurkan mengangkat tangan dalam membaca doa thawaf sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkali-kali melakukan thawaf tidak ada satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa beliau berdoa mengangkat tangan pada saat thawaf.
Sesuatu yang terbaik adalah mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sesuatu yang terburuk adalah mengikuti perbuatan bid’ah.
Cara Mengangkat Tangan Dalam Berdoa.
Ibnu Abbas berpendapat bahwa cara mengangkat tangan dalam berdoa adalah kedua tangan diangkat hingga sejajar dengan kedua pundak, dan beristighfar berisyarat dengan satu jari, adapun ibtihal (istighasah) dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. [Sunan Abu Daud, bab Witir, bab Doa 2/79 No. 14950. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud].
Imam Al-Qasim bin Muhammad berkata bahwa saya melihat Ibnu Umar berdoa di Al-Qashi dengan mengangkat tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya dan kedua telapak tangannya dihadapkan ke arah wajahnya. [Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/147. Dinisbatkan kepada AL-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad tetapi tidak ada].
Ketahuilah Bahwa Doa Istisqa’ Memiliki Dua Cara
Pertama.

Mengangkat kedua tangan dan mengarahkan kedua telapak tangan ke wajah, berdasarkan dari Umair Maula Abi Al-Lahm bahwa dia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa istisqa di Ahjari Zait dekat dengan Zaura’ sambil berdiri mengangkat kedua telapak tangannya tidak melebihi di atas kepalanya dan mengarahkan kedua telapak tangan ke arah wajahnya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Raf'ul Yadain fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1/226 No. 1035].
Kedua

Mengangkat tagan tinggi-tinggi dan mengarahkan luar telapak tangan ke arah langit dan dalam telapak tangan ke arah bumi. Dari Anas bahwa beliau melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa saat istisqa dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi dan mengarahkan telapak tangan sebelah dalam ke arah bumi hingga terlihat putih ketiaknya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Raf'ul Yadain fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1/226 No. 1035].
[Disalin dari buku Jahalatun nas fid du'a, edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdoa oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, hal 61-69 terbitan Darul Haq, penerjemah Zaenal Abidin Lc] (Oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih)

sumber : Arrahmah.com
Baca selengkapnya » 2 komentar

Jumat, 06 Mei 2011

[Bukan] Ustadz Berdakwah


Dakwah merupakan setiap kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah swt sesuai dengan garis akidah, syariah dan akhlak Islamiyah. Secara kebahasaan, dakwah adalah kata dasar (masdar) dari kata kerja da'aa-yad'uu yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.

Para ulama berlainan pendapat dalam menetapkan hukum menyampaikan dakwah Islam itu. Ada yang menetapkannya sebagai fardu kifayah (kewajiban kolektif) dan ada pula yang menetapkannya sebagai fardu a'in. Mereka sama-sama mendasarkan pendapat mereka pada surat Ali Imran ayat 04. Kata minkum dalam ayat ini ada yang menganggap mengandung pengertian tab'id (bagian), sehingga hukum dakwah menjadi fardu kifayah. Ada pula yang menganggap kata minkum dalam ayat tersebut sebagai za'idah (tambahan), sehingga hukumnya menjadi fardu a'in.

Tujuan utama dakwah adalah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhoi oleh Allah SWT, yakni dengan menyampaikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan yang diridhai oleh Allah SWT sesuai dengan segi atau bidangnya masing-masing.

Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai rasul Allah SWT, Nabi SAW melakukan dakwah Islam baik secara lisan, tulisan maupun perbuatan. Nabi SAW memulai dakwahnya kepada istrinya, keluarganya dan teman-teman karibnya. Dakwah ini pada mulanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Situasi pada waktu itu belum memungkinkan penyampaian dakwah secara terang-terangan. Kemudian setelah pengikut Nabi SAW bertambah dan beberapa pemuka Kuraisy juga telah menganut agama Islam, barulah dakwah Islam disampaikan secara terang-terangan. Di antara pendukung awal dari dakwah yang disampaikan oleh Nabi SAW adalah Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar as-Siddiq dan Ali bin Abi Talib.

Dakwah Nabi SAW juga dilakukan dengan tulisan. Beliau pernah mengirim surat berisi seruan, ajakan atau panggilan untuk menganut agama Islam kepada raja-raja dan kepala-kepala pemerintahan dari negara-negara yang bertetangga dengan negara Arab. Di antara raja-raja yang mendapat surat atau risalah Nabi SAW itu adalah Kaisar Heraclius dari Bizantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia (Iran) dan Raja Najasyi dari Habasyah (Etiopia). Setelah Nabi SAW wafat, dakwah Islam dilanjutkan oleh para sahabat. Ruang gerak dakwah Islam pada masa sahabat dan masa-masa sesudahnya semakin luas dan beraneka.

sumber:Republika.co.id
Baca selengkapnya » 0 komentar

Copyright © [BUKAN] Ustadz 2010

Template By Nano Yulianto